Curhat Remaja. Hei, Teens! Saat remaja biasanya ada banyak kenangan yang pernah terjadikan? Seperti saat dimana banyak dari kita mulai mempercantik diri dan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Kenangan-kenangan yang seperti itu, mungkin akan kita rindukan dimasa depan dan jadi pengalaman lucu untuk diingat atau malah jadi titik dimana hidup kita yang sebenarnya dimulai.
Ada satu kakak yang mau menceritakan kenangannya saat duduk di bangku SMA. Namanya kak Loli (nama telah disamarkan) dan berikut ini sesi curhat remaja yang menarik untuk disimak. Yuk!
Curhat Remaja
Gue punya sahabat dari masuk SMP yang kita sebut aja, Caca. Nah Caca ini sejak kita masuk SMA, suka dijodohin sama anak sekelas bernama William. Hmm gimana ya, satu kelas jodohin mereka, karena yah mereka sama-sama cuakep dan tinggi menjulang. Tapi gak ada asap kalau gak ada api ‘kan? Cacanya emang beneran suka Will. Dia biasa salting kalau di dekat tuh cowok dan si Will anaknya jahil banget sih, suka banget iseng ke Caca dan Cacanya juga nanggepin. Jadi interaksi mereka lucu, sampai gue pun ikut-ikutan anak sekelas untuk jodohin mereka.
Gue lumayan deket sama Will, awalnya sih karena ngejer doi sampai lapangan sekolah akibat udah keterlaluan isengin Caca. Dan karena kita ekskulnya berhubungan (dia anak fotografi dan aku jurnalis) dan tempatnya juga sebelahan jadi secara natural deket dah. Bisa dibilang kita temenanlah, ya?
Setiap masuk kelas, semua pasti ribut tuh ngecie-ciein Caca dan Will kalau ada momen mereka, gak terkecuali gue. Gue juga sering ngecie-ciein mereka, gue tau kok kita harusnya gak boleh gitu karena bisa bikin mereka risih dan canggung. Tapi, gue tahu banget kalau Caca suka digituin dan Will malah makin jahil.
Sampai suatu hari waktu kita baru selesai ngerjain ekskul bareng, yaitu gue ngewawancarai dan Will yang fotoin seorang kakak kelas yang udah mau lulus. Anak-anak pada lewat dan ngecie-ciein Will sama kejadian waktu pelajaran olahraga tadi siang, saat Will lindungin Caca dari bola. Gue yang ingat kejadian itu dan ekspresi luar biasa senangnya Caca, jadi geli dan ketawa sambil cie-ciein Will.
Gue langsung berhenti ketawa ketika sadar wajah gak enak Will, jarang lho anaknya begitu dan dia ajak gue ke ruangan ekskul fotografi yang udah kosong melompong karena emang udah sorekan? Bisa dibilang anak-anak sekolah udah banyak yang pulang.
Gue yang entah kenapa jadi canggung dan merasa gak enak, manut aja ikut dia ke ruang ekskul fotografi sambil dalam hati nyumpah-nyumpahin diri sendiri. Gue baru ingat kalau bisa jadi dianya gak nyaman digituin dan… bener. Dia bawa gue ke ruang ekskulnya untuk ngasih tahu hal itu dengan wajah murung dan frustasi. Sesuatu yang mustahil muncul pada anak yang iseng dan ceria kayak dia.
“Maaf”, itu kata yang pertama kali keluar dari mulut gue, itu tulus dan penuh penyesalan. Gue sadar kalau gue udah keterlaluan. Lalu disusul dengan kata, “Janji gak bakal kayak gitu lagi” berulang kali. Rasanya perasaan gak enak itu bener-bener memuncak di diri gue.
Gue kaget dan lega betul, waktu dia ketawa dan senyum ceria lagi. Dia bilang gapapa dan kita jadi ketawa bareng. Suasana kembali canggung karena nggak ada suara tawa lagi dan tiba-tiba gue gak tahu mau ngobrolin apa, rasanya pengen pamit aja tapi jadi kelihatan gak sopankan, karena barusan gue udah nyakitin perasaannya.
“Loli.” Dia manggil nama gue, lembut banget kek bukan dia yang biasanya. Spontan wajah kikuk gue berubah jadi cerah lagi, ini dia! Akhirnya Will buka topik juga, pikir gue dan gue pun jawab ya. Tapi ternyata yang diomongin dia bukan sesuatu yang gue harapkan, karena lanjutan katanya adalah… “Gue suka lo.”
That’s it! Gue seketika mati kutu. Itu sesuatu yang nggak pernah gue bayangin dalam hidup. Jujur, gue juga sebenarnya suka sama William. William itu… uhuk, cinta pertama gue. Tapi! Gue gak pernah mikir buat pacaran dengan dia sama sekali, karena tahu Will itu juga cinta pertamanya Caca. “Ko..k tiba-tiba?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut gue setelah hening sejenak.
“Tiba-tiba apa?” Jawab dia yang bikin gue jantungan setengah mati. “Lo gak sadar? Padahal gue udah suka lo dari kita kelas satu sampai sekarang udah mau kelas tiga SMA, Li.” Aku terdiam.
Dia mulai ceritain kenapa bisa jatuh cinta, yaitu karena sering bareng. Dia lihat gue manis, selain itu cuek, orangnya asik, agak tomboy dan baik hati terutama pintar. Tipe idealnya banget. Dia nggak pernah anggap serius omongan banyak orang yang jodohin dia sama Caca, begitu pula dengan perasaan Caca. Baginya Caca itu hanya teman yang enak diusilin, kayak banyak teman-teman perempuannya yang lain. Karena itu tadi dia sempat sakit hati aku suka ikutan jodohin dia sama Caca.
“Maaf ya, gue baperan udah kayak cewek aja. Tapi kenapa harus lo juga? Orang yang gue suka. Orang yang bikin gue berpikir keras, kapan waktu dan tempat yang pas untuk nembak lo.” Ujarnya.
Tiba-tiba gue jadi ingat, dulu pernah asal nebak kalau mungkin Will suka gue. Soalnya kalau dia sama gue, cara bicaranya agak beda dan jarang ngusilin gue. Kita kalau ngobrol selalu nyambung dan panjang banget, dia suka traktir anak sekelas dan punya gue pasti udah langsung disisihkan dia untuk dikasih langsung. Sering bela dan kasih semangat gue. Semua ini gue sangkal biasa aja, karena Will memang baik ke semua orang sehingga hal itu nggak bikin tindakannya ke gue terlihat jelas.
Gue kembali ke kenyataan, sadar kalau dari tadi dia tersenyum simpul merhatiin gue dan nungguin jawaban dari gue senantiasa. Gue pun kembali kikuk. Sumpah, saat itu bingung mau jawab apa. Kalau gue jawab, “Ya” berarti gue setuju untuk pacaran sama dia tapi itu juga berarti gue khianatin perasaan sahabat sendiri. Gue saat itu dodol atau gak, itu kalian yang putuskan sendiri. Seinget gue, gue hanya bilang terima kasih lalu pergi. Dihati gue rasanya persahabatan dengan Caca lebih dominan ketimbang perasaan gue. Persahabatan lebih penting daripada cinta.
Besoknya minggu dan kita ketemu lagi hari senin, gue rada canggung tapi dia kelihatan santai aja. Kayak nggak ada kejadian apapun diantara kita. Satu sisi bikin gue jadi lega namun gak bisa dipungkiri, disisi lain gue jadi kecewa dan sedikit marah. Tapi dalam perjalanan pulang, gue akhirnya ikhlas sama perasaan gue. Toh temen-temen pada maunya Caca sama doi, bukan sama gue. Terutama gue gak mau hancurin masa-masa indah Caca.
Hari terus berlalu dan kita pun lulus SMA. Sampai saat lulus ini pun, keinginan gue, anak-anak lain dan Caca nggak jadi kenyataan. Sampai akhir dua orang yang deket sama gue ini nggak jadian dan gue juga nggak pernah kasih tahu Caca kalau Will sempat nembak gue. Kejadian kita sore itu nggak pernah diungkit-ungkit lagi, malah kayak nggak pernah ada. Gue dan Will masih tetap dekat malah dia udah naik pangkat jadi sahabat gue. Hehehe.
Itu aja sih curhat remaja gue, masa-masa dimana gue jatuh cinta. Kadang suka mikir kalau dia masih suka gue, soalnya ada beberapa kejadian yang nunjukin hal itu. Sumpah kalau ya, gue berdosa banget udah gantungin perasaan anak orang. Gue, Will dan Caca masuk ke universitas yang berbeda. Karena beda universitas dan kota pasti jadi jarang ketemukan? Yang gue denger, Caca udah pacaran sama orang lain sedangkan kita berdua masih setia menjomblo. Semoga kita terus jaga hubungan baik ya, Will!
Perhatian:
Yo! Kamu punya kisah masa remaja yang ingin dibagikan? Entah itu curhat remaja tentang cinta, persahabatan, pubertas, keluarga, atau bahkan hal sensitif? Silahkan tulis di kolom komentar atau email aku di remajaasik2020@gmail.com untuk diskusi lebih lanjut pasti akan dibalas kok. Oh ya, nggak mesti umur remaja ya! Kakak-kakak atau bahkan nenek-nenek juga boleh kok hehe mana tahu mau mengenang masa lalu dan nama pasti disamarkan!