My Daddy’s an Actor! – Bab 1
Ancaman
“Sampai berapa lama lagi kau akan mengelak?” Tanya nyonya Matthew nyaris berteriak. dia melipat tangannya di depan dada dan duduk penuh wibawa.
“Berikan aku waktu, bu.” Putranya menjawab acuh tak acuh. Terlihat sibuk sendiri memainkan cangkir tehnya.
“Berikan waktu?” Wanita itu memutar bola mata. “Hah! Ini sudah yang kelima belas kalinya kau mengatakan itu George.” bentaknya berkacak pinggang seperti yang sudah di tebak George.
George memejamkan matanya dan memijat kening. “Apa peduli ibu? Kenapa terus memaksaku ini dan itu?” keluhnya menghela nafas. “…Kau bahkan bukan ibu kandungku.” dia melanjutkan dengan suara pelan.
Skakmat! Wanita yang kini hampir berkepala lima itu merasa seperti ada batu besar yang menimpa hatinya. Kalau George sudah menyinggung ini, selalu dengan tekanan, harga dirinya yang tinggi akibat lahir dari kelas atas atau konon disebut ningrat jadi seperti terinjak-injak. Dia menggeram berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya yang sudah meluap-luap, kalau ini genre fantasi bisa saja asap sudah keluar dari tubuhnya.
Kini, wanita itu ikut-ikutan memijat keningnya dan berulang kali menghela nafas. “Baiklah, abaikan saja aku George, tapi pikirkan ayahmu!” ia berusaha bicara selembut mungkin namun tetap tegas. “Dia sudah sekarat di rumah sakit, dan…”
“Cih, aku tak peduli.” Potong George ketus, tampaknya ia sengaja ingin membuat ibu tirinya kesal. Dan, yah, kamu berhasil George, tangan wanita itu mengepal sekarang. Rasanya ia sudah tak dapat lagi menahan diri untuk tidak mendamprat pria bujang di depannya ini. Namun syukurlah sebelum tangannya melayang, sebuah panggilan berdering dan nama pemanggilnya terpampang di layar.
“Wah, panjang umur.” Gumam George tertawa pelan.
Beberapa menit berlalu dan dari percakapan yang ditangkapnya, ia dapat menebak apa yang terjadi… lagi. “Ibu harus pergi, ayahmu penyakitnya kambuh lagi.” wanita modis itu memasukkan ponselnya ke dalam tas dan George hanya balas mengangguk. “Ingat George, kalau sampai minggu depan kau belum mendapat calon istri juga, ibu akan menikahkanmu dengan gadis manapun!” kecamnya sambil berlalu pergi.
“Hei Lucas, Jangan habiskan kripikku!” Seru George kesal. Sejak kepergian ibu dari pagi sampai petang sekarang, emosi pria yang baru menyandang predikat kepala tiga ini terlihat sangat-sangat buruk. Kalian pasti dapat menebak apa penyebabnya bukan?
Lucas yang adalah sahabatnya sejak SMA, melongo. “Wah, seriusan deh, demi apapun yang ada di alam semesta ini, kau harus mengubah sifat pelitmu itu padaku George! hartamu ‘kan bermiliaran masa satu bungkus keripik saja tak boleh?” Keluhnya tak habis pikir, George diam saja.
Bukan sahabat rasanya jika ia tidak dapat merasakan ada yang aneh darimu, begitu pula dengan Lucas. Ia lantas mengambil tempat duduk disamping George dan menawarkan sebotol soda. “Apalagi yang dikatakan ibumu? Menikah?” Tebaknya sambil terkekeh.
George mengangguk pelan, matanya sibuk menatap bergerakan layar TV dan tangannya bergerak-gerak memainkan PS 5. “Menikah sajalah~” Goda Lucas ngasal, yang dihadiahi bantal melayang.
“Aku tahu sulit bagimu untuk melupakan masa lalu, tapi itu sudah terjadi 12 tahun yang lalu! Kau juga harus pikirkan masa depankan?” Kata anak itu dengan intonasi serius, tumben. Tapi George tetap tak menanggapinya, membuat Lucas jadi dongkol sendiri.
“Begini,” katanya lagi, kali ini lebih serius sehingga George tanpa sadar menaruh perhatian. “aku menolak mentah-mentah kalau seandainya, seandainya ya! Hartamu yang bergelimpangan itu diberikan padaku saat kau meninggal kelak. Kau tau sendirikan, aku saja sudah kebingungan bagaimana caranya menghabiskan hartaku?” Ah, ternyata konyolnya kambuh.
“Sialan kau, Lucas!” Umpat George jengkel, berusaha meninju sahabatnya yang pintar mengelak itu. Namun sepandai-pandainya tupai menghindar ujung-ujungnya ya tertangkap juga. Lucas mengerang kesakitan sambil tertawa ngakak. “Gara-gara memperhatikan bualanmu itu, aku jadi kalah!” Keluh George tambah jengkel.
Sebelum George kembali mengambil PS 5-nya, tiba-tiba Lucas menahan bahu George sehingga kini mata mereka saling bertemu. “Ada apa lagi?” Pria itu menatap risih.
“George, ucapanku tadi serius, kau harus melupakan masa lalu! Ingat, kau tak akan pernah bisa sembuh kalau tak pernah mencoba untuk sembuh.” Hardik Lucas terdengar serius sekali.
George membisu, ia sempat dibuat tersentak juga oleh kata-kata Lucas. Namun cepat-cepat ia melepas paksa tangan sahabatnya itu dan berkutat kembali dengan PS 5-nya. Dia mengernyitkan keningnya seolah-olah ingin mengukuhkan pendiriannya. dasar pria yang sekeras batu, pikir Lucas menggeleng-gelengkan kepala.
“Apa jadwal kita hari ini, kak?” Tanyanya sambil melonggarkan dasi yang sedari tadi terasa mencekik. Dia menghela nafas lega karena akhirnya terbebas dari pewawancara yang terus menerus menanyakan tentang hal-hal pribadinya. Kelewatan batas memang, tapi sebagai seorang publik figur harusnya sih sudah terbiasa dan hanya perlu menjawab pertanyaan sebijaksana mungkin.
Kak manager meneliti tabletnya sebentar dan berdehem, “Kita masih ada sesi pemotretan untuk tiga majalah, lalu syuting iklan dan bagian terakhir film mendatang yang kemarin sempat tertunda, kemudian memberikan pidato di universitas, dan…”
“Tunggu! Tunggu!” potong George hendak memprotes, bola mata hijaunya yang indah seakan mau keluar karena melotot. “Kenapa jadwalnya banyak sekali? Menurut kakak itu bisa selesai dalam satu hari!?”
“Err, ya begitulah, dan kita juga masih ada jadwal menghadiri event fashion Chinel karena kau brand ambassador-nya.” Kak manager malah melanjutkan.
“Tunggu! Aku bilang tunggu! Kenapa tiba-tiba aku diserang jadwal begini kak!?” Anak itu semakin kebingungan dan bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk…
[Ibu
Six days left.]
Sekarang, semua jelas. “Apa ibu yang melakukannya?” ia menatap sinis sekali.
“… benar.” Kak manager tertawa canggung, dia berusaha menghindari tatapan mematikan dari pria yang sudah dikenalnya lebih dari sepuluh tahun ini. “Nyonya memintaku memajukan jadwalmu minggu depan, karena katanya minggu depan kau akan sibuk sekali mengurusi urusan pribadi. Semacam… perjodohan.” Pelan sekali suaranya saat mengucapkan kata-kata yang terakhir.
George mendecih, wajahnya jadi semakin gusar, mentang-mentang wanita tua itu yang sekarang memegang alih agensi. Perjodohan? Apakah dia sudah menduga kalau anak angkatnya itu tak akan bisa menemukan calon istri sampai minggu depan?
Cara punya anak tanpa menikah… “Hasilnya ngawur!” George mendengus kesal sambil menggaruk-garuk tekuknya. Dia melirik jam dinding yang berbunyi menandakan sudah masuk tengah malam. Cepat-cepat ia menutup artikel yang dibacanya tadi dan berjalan dengan gontai menuju ranjang. Rasanya seharian ini capek sekali pergi ke sana-kemari dan berganti pakaian berulang kali, ditambah lagi ia sudah menghabiskan sekitar setengah jam lebih hanya untuk membaca artikel-artikel tak jelas. Mending aku pakai buat tidur! Pikirnya frustasi.
Ia memadamkan lampu kamar dengan menjentikkan jari dua kali. Pikirannya kembali melayang ke artikel-artikel yang ia baca tadi, yang rata-rata mengatakan bayi tabunglah solusinya. Ah, seandainya pria juga bisa begi… sebentar, sebentar, kenapa pemikiranmu bisa sejauh itu George?!
“Apa benar tidak ada cara lain selain menikah?” Gumamnya sembari mengelus-elus pipinya yang perih akibat tamparan. Ya, dia menampar dan memaki dirinya sendiri karena tadi sempat berpikir bodoh.
Dia masih berpikir keras selama beberapa saat sampai akhirnya kembali frustasi karena tak kunjung menemukan jawaban. Akhirnya, ia memilih mengambil tabletnya lagi dan membaca berita-berita yang sedang panas saat ini. Itu salah satu hobi uniknya saat sedang kelelahan.
[Panti Asuhan di Pinggir Kota Martin Terkena Dampak Tsunami, Banyak Sumbangan Dibutuhkan!]
“Kasihan sekali.” Gumam George spontan setelah membaca sampai habis artikel itu. Besok aku akan minta kakak mengatur sumbangan dariku, pikirnya penuh tekad. Dia mengangguk-angguk setuju saat membaca ulang kalimat terakhir yang mengatakan, “akan lebih baik jika seandainya ada orang baik hati yang mau mengadopsi anak-anak malang ini, sehingga mereka bisa merasa aman karena memiliki keluarga.”
Tiba-tiba dia tercenung sejenak, membaca ulang lagi kalimat tadi kali ini dengan bersuara, digarisinya kata mengadopsi dan keluarga. Seperti seekor kucing yang terbelalak karena kaget, George tersentak. Ah, itu dia! Adopsi anak!
Baca Selanjutnya: My Daddy’s an Actor! – Bab 2
Baca Sebelumnya: My Daddy’s an Actor! – Prolog
My Daddy’s an Actor! – Bab 1 My Daddy’s an Actor! – Bab 1 My Daddy’s an Actor! – Bab 1
[…] Baca selanjutnya: My Daddy’s an Actor! – Bab 1 […]