Hari ini seperti biasanya, Kei dan Arya kembali duduk di sofa kamar kerja, Papa. Tapi, kali ini dalam situasi yang berbeda. Papa duduk di kursi kayunya, sambil menatap sepasang anak itu lekat-lekat. Wajah Kei tertunduk ke bawah, bersikap seperti minta pengampunan. Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya Kei sama sekali tidak merasa bersalah. Sudah pasti Papa akan menghukum mereka, itu tidak dapat terelakkan.
“Kei … Kei … Kei!”
“Y-a, ya?” Jawab Kei dengan terbata-bata, dia baru sadar dari lamunannya.
Papa mendesah kesal, diulangi lagi kata-katanya tadi, “Kalian sudah besar, Kei sudah empat belas tahun, dan Arya lima belas tahun. Kapan kira-kira kalian bakal menghentikan sifat kekanak-kanakan ini?”
Hal yang membuat mereka ribut memang terbilang konyol. Satu jam yang lalu, Kei berniat menonton acara televisi setelah mengerjakan PR, dan dia melakukannya. Namun, Arya rupanya juga memiliki rencana yang sama dengan tujuan yang berbeda. Mereka berkelahi, karena kakak laki-lakinya itu ingin bermain video game, yang jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Kei. Keributan pun terjadi, dan disinilah akhirnya mereka, di kamar kerja Papa.
Tidak ada yang menjawab, hening terasa berkuasa di ruangan yang agak sempit itu. Keduanya, tahu tak ada gunanya menjawab omongan Papa saat ini.
“Begini saja, sebagai hukuman kaset video game Arya Papa sita selama satu minggu.” Arya melongo, sementara Kei nafasnya tertahan, dia tahu hukumannya akan segera datang setelah Arya, berharap-harap cemas semoga itu bukan hal yang mengerikan. “dan Kei, kamu tak boleh menggunakan TV selama seminggu pula.”
“Apa?” Spontan dia menjawab, hendak melakukan pembelaan. “Tapi Pa, Ar-“
“Case closed.” Potong Papa cepat. Pria yang sudah agak berumur itu berdiri, membuka pintu ruang kerja, dan mempersilahkan putra-putri kesayangannya keluar. Dengan wajah masam, dua remaja itu keluar dengan langkah malas.
“Ini semua salahmu, sial!” Bentak Arya kasar, setelah keluar dari ruangan Papa.
Tak mau kalah, Kei balas balik membentak. “Wah-wah, kenapa jadi aku?”
“Harusnya kau ngalah dong!”
Kei refleks memasang tampang terkejut, membuat keadaan tampak dramatis. “Hah, beneran deh, yang laki-laki siapa, ya? Yang tua siapa, ya?”
“Dimana-mana adek yang ngalah, lagipula aku duluan yang dapat TVnya, kan?”
“Kalau masih ribut lagi,” sebuah suara dari balik pintu menyela adu mulut yang kini terjadi. Bisa ditebak itu siapa. “ponsel kalian Papa sita.”
Kedua anak itu terdiam, melirik satu sama lain dengan lirikan dendam, kemudian berbalik menuju kamar masing-masing.
Kei dan Arya dari dulu memang terkenal selalu cek-cok, bahkan teman dekat mereka sering menjuluki mereka dengan sebutan “Devil Siblings”. Begitulah, bukan hanya karena gender, tapi pertolakan sifat dan tingkah laku yang kentara juga ikut andil dalam membuat hubungan mereka menyerupai Devil Siblings. Kei benci pedas, Arya sebaliknya, Kei feminin, Arya maskulin, Kei suka novel, Arya suka komik, Kei suka musik sendu, Arya suka musik rock, Kei orang yang sangat perfeksionis, sementara Arya teledor dan sembarangan, dan masih banyak lagi. Jadi kau tahukan seberapa tak cocoknya mereka?
Kei membuka pintu kamar dengan emosi meluap-luap, meski begitu, dia tak membantingnya. Dilihatnya sejenak Ibu yang sedang menyetrika baju, baru menghempaskan tubuh ke ranjang.
“Sudah selesai?” Tanya ibu santai sembari melirik Kei beberapa detik saja. “Jadi kalian dihukum apa?” Ejek Ibu, bergurau.
“No comment!”
“Oke.” Ibu menjawab singkat tanpa melirik Kei sama sekali, membuat Kei tambah jengkel, karena si Ibu tak mencoba membujuk sang gadis terlebih dahulu. Dibenamkannya wajah ke bantal.
Sekarang jam di dinding menunjukkan pukul lima sore, ibu telah selesai menyetrika baju dan meletakkannya. Kini, ibu terduduk di ranjang sambil menyingkirkan poni Kei yang menutupi wajah cantiknya.
“Kei,” Ibu berucap lembut, “apakah kamu tahu, saudara adalah orang paling setia dalam hidupmu.”
“Bohong!”
“Iya, merekalah orang yang menerimamu apa adanya, menyayangimu apa adanya. Saat bersama mereka kau tak perlu menjadi orang lain, meskipun kau punya banyak teman, itu tak ada apa-apanya daripada saudara, mereka yang akan melindungimu, menangis bersamamu, dan saat butuh bantuan misalnya kamu sakit, merekalah orang pertama yang akan kau minta tolong.”
“Coba bayangkan, misalnya nih! Kamu lagi demam dan kepala juga pusing tapi kamu ingin minum, kira-kira siapa ya orang pertama yang bisa kamu minta tolong? Serira? Sahabat baikmu itu? Oh, tidak! Rumahnya jauh. Bisa-bisa kamu duluan pingsan sebelum dia sampai ke sini. Satu hal lagi nih, yang perlu kamu pikirkan! Bahkan suamimu tak ada jaminan bisa setia bersamamu sampai akhir, tapi saudara bisa! Dan kau akan tua bersama mereka.”
Tak ada jawaban, Kei masih membenamkan wajahnya di bantal. Dalam hati, gadis itu menyetujui kata-kata Ibu, kepalanya yang sekeras es sedikit meleleh.
“Cobalah sesekali melihat hal positif dari kakakmu, kalau kamu melakukannya kamu akan mudah memaafkan Arya, semenyebalkan apapun dia.”
“Melihat sifat positif dari orang lain itu bisa diumpamakan seperti selembar kertas putih, Kei. Tapi di dalamnya ada noda hitam. Kalau kamu hanya fokus pada noda itu, noda itu kelihatan besar dan sangat mengganggu, kan? Kamu hanya bisa melihat kejelekan saja. Coba deh! Perluas pandanganmu, lihat keseluruhan kertas itu! Maka sekarang, kamu bisa melihat bagian lain yang masih putih bersih dan noda itu sekarang kecil, gak ada apa-apanya.”
Kei berbalik, mata hitamnya menatap langit-langit, “Ya.” Jawabnya singkat disusul dengan hembusan nafas.
“Sebenarnya kalian bisa akrab,”
“Masa?”
“Iya, dan untuk itu kau harus memulainya terlebih dahulu!” Kata Ibu penuh lembut, sembari mencium kening anak gadis semata wayangnya.
“Hei,”
“Hm?” Balas Arya setelah di tunggu satu menit, dia menyeringai membuat paras rupawannya bertambah. “Kangen ya?” Godanya.
“Hebat, ya? Kaset video game disita, ganti main game di laptop.”
“Yap! Itulah kehebatanku. Habis ini aku mau main di handphone.” Jawab bocah tampan itu masih nyengir, membuat Kei mendengus kesal. “Omong-omong ada apa kemari?”
“I-ini,” sekotak susu pisang terletak di samping laptop, diberi dengan lembut, tidak seperti Kei yang biasa. Kalau Kei yang biasa, dia pasti sudah melempar susu itu hingga membentur tembok.
Mengenai Arya, sudah pasti ia menyadarinya.
“Wah, makasih gumpalan lemak.”
Gumpalan lemak? Tiba-tiba rasa ingin mencekik saudaranya itu merasuki Kei sesaat. Akan tetapi, ia memilih untuk mengendalikan diri dan menghela nafas. “Ya.” Jawab gadis itu singkat, lalu berbalik. “Aku pergi.”
“Hei, Tunggu!” Seru Arya tiba-tiba. Dia berbalik, namun masih setia duduk pada kursi armchair minimalis kesayangannya.
Sesuatu melayang, tepat sasaran mengenai tulang punggung Kei. Tidak perlu berfikir keras siapa yang melakukan itu, karena di ruangan ini hanya ada dua manusia, yaitu Kei dan Arya.
Kei meringis kesakitan sembari menengok Arya dengan tatapan bengis. Baru saja dia hendak berdamai dan bertingkah baik sesuai nasihat Ibu namun alih-alih bertahan satu jam, keinginan itu diruntuhkan sendiri oleh orang yang ingin dibaiki. Betapa tak tahu berterima kasih! Gumamnya dalam hati.
“Apa, sih? Dasar gila!”
Hal konyol itu hanya dibalas dengan suara cekikikan, yang membuat emosi Kei semakin mendidih hingga menembus sumsum. Dalam hati, siswi SMP itu berdoa agar diberi ketabahan guna menghadapi cowok yang tinggal serumah dengannya itu. Berhubung sudah berjanji dengan Ibu, Kei ingin menepatinya barangkali hanya satu hari. Dia berbalik, disibaknya gorden pintu kamar Arya dengan kasar, dua tanduk devil berada di kepala. Saat hampir keluar dari wilayah kamar Arya tiba-tiba Kei merasa ada sesuatu yang kecil membentur kaki, dan itu … adalah coklat!
Sebuah senyum tertahan tersungging di bibir Kei. Di bungkusan cokelat itu tertulis “Milik Arya, siapa yang ambil, mati!” spontan dia menoleh memperhatikan cowok yang sedang asyik bermain game itu, ada sesuatu yang Kei rasakan di dalam hati. Apakah ini yang dinamakan ketenangan batin? Inikah rasanya akur dengan saudara? Sebahagia ini? Sepertinya kata-kata Ibu tak banyak salah, mungkin iya, Arya bukanlah kakak yang bertingkah manis seperti pada umumnya. Tapi, dia bisa menunjuk rasa sayang dan peduli pada Kei dengan caranya sendiri, dengan cara yang sembarangan, bertingkah sesukanya, dan blak-blakkan, setidaknya itu lebih bagus daripada banyak membual. Itulah hal positif yang Kei tangkap.
Kei tahu hal ini tak akan bertahan lama, palingan besok pasti mereka akan ribut kembali, berkelahi karena hal sepele seperti biasanya, berebutan apa saja, dan sebagainya. Walau begitu, itu hal yang wajar, karena yang terpenting mereka saling menyayangikan? Dengan cara mereka sendiri.
Kei melanjutkan langkahnya, keluar dari kamar itu. Sementara Arya, dia melihat reaksi Kei dari layar laptop, dengan ujung bibir yang terangkat ke atas. Apakah itu bisa disebut senyum?